BLOGGER TEMPLATES AND MyYearBook Layouts »

Kamis, 02 Juni 2011

BIOGRAFI SINGKAT RABI’AH AL-ADAWIYAH (717-801M)


Rabi’ah adalah anak keempat dari empat saudara. Semuanya perempuan. Ayahnya menamakan Rabi’ah yang artinya “empat”, tak lain Karena ia merupakan anak keempat dari keempat saudaranya itu. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar ia dikaruniai seorang anak laki-laki. Keinginan memperoleh anak laki-laki di sebabkan karena keluarga Rabi’ah bukanlah termasuk keluarga yang kaya raya, tapi sebaliknya hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Setiap hari ayahnya kerap memeras keringat untuk menghidupi keluarganya, sementara anak-anaknya masih terbilang kecil-kecil. Apalagi dengan khadiran Rabi’ah, beban penderitaan ayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelak dikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akan berkurang karena anak laki-laki  bisa melindungi seluruh keluarganya. Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.
            Sekalipun keluarganya berada dalam kehidupan yang serba kekurangan, namun ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan. Begitupun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidup serba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untuk terus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya ia jadikan sebagai kunci unutuk memasuki dunia sufi, yang kemudian melegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antara deretan sejarah para sufi.
            Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik. Namun begitu, sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) denagan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin abad ini), Ibnu khallikan (w. 1282 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam kehidupan Para Orang Saleh), dari Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’ (Memori Para Wali).
            Dari sekian banyaknya biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Auliya’ karya Fariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang paling mendekati kehidupan Rabi’ah terutama ketika awal-awal Rabi’ah akan lahir ditengah keluarga yang sangat  miskin itu (tapi ada yang menyebutkan keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunan bangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margareth Smithy dalam bukunya Rabi’ah the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi, terbitan Cambridge University Press London 1928), antara lain banyak mengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.
            Diceritakan, sewaktu bayi Rabi’ah lahir malam hari, dirumahnya sama sekali tidak ada minyak sebagai bahan untuk penerangan, termasuk  kain pembungkus untuk bayi Rabi’ah. Karena tak ada alat penerangan, ibunya lalu meminta sang suami, Ismail, untuk mencari minyak di rumah tetangga. Namun, karena suaminya terlanjur berjanji unutuk tidak meminta bantuan pada sesame manusia (kecuali pada Tuhan), Ismail pun terpaksa pulang dengan tangan hampa. Saat Ismail tertidur untuk menunggui putrid keempatnya yang baru lahir tersebut, ia kemudian bermimpi di datangi oleh Nabi Muhammad Saw dan bersabda: “Janganlah bersedih hati, sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang suci yang agung, yang pengaruhnya akan dianut 7.000 umatku.”
            Nabi kemudian bersabda lagi: “Besok kirimkan surat kepada Isa Zadzan, Amir kota Basrah, ingatkanlah kepadanya bahwa ia biasanya bershalawat seratus kali untukku dan pada malam Jum’at sebanyak empat ratus kali, tetapi malam Jum’at ini ia melupakanku, dan sebagai hukumannya ia harus membayar denda kepadamu sebanyak empat ratus dinar.”
            Syah Rabi’ah kemudian terbangun dan menangis. Tak lama, ia pun menulis surat dan mengirimkannya kepada Amir kota Basrah itu yang dititipkan kepada pembawa surat pemimpin kota itu. Ketika Amir selesai membaca surat itu, ia pun berkata: “Berikan dua ribu dinar ini kepada orang miskin itu sebagai tanda terima kasihku, sebab Nabi telah mengingatkanku untuk memberi empat ratus dinar kepada orang tua itu dan katakanlah kepadanya bahwa aku ingin agar ia mengahadapku supaya aku dapat bertemu dengannya. Tetapi aku rasa tidakklah tepat bahwa orang seperti itu harus datang kepadaku, akulah yang akan datang kepadanya dan mengusap penderitaanya dengan janggutku.”
            Aththar juga menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluarga Rabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudian meninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. Penderitaan Rabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparan hebat. Rabi’ah dan saudara-saudaranya terpaksa harus berpencar, sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.
            Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpa dengan seorang anak laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalu menarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enam dirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ah benar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ah diperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-laki asing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketika laki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuh terpeleset. Mukianya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah, aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu dan seorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian aku tidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu. Aku ingin sekali mengetahui apakah engkau Ridla terhadapku atau tidak.” Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih, sebab pada saat Hari perhitingan nanti derajatmu akan sama dengan orang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”
            Setelah itu Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankan ibadah puasa sambil melakukan pekerjaanya sehari-hari. Konon, dalam menjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga siang hari.
            Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan dari jendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalam shalatnya Rabi’ah berdo’a, “Ya tuhanku, Engkau-lah Yang Maha Mengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menuruti perintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak apadaku, maka aku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadah kepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.” Tatkala Rabi’ah masih khusyu’ beribadah, tuannya tampak melihat ada sebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”, artinya cahaya rahmat tuhan) dari seorang Muslimah suci.
            Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ah tentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ketempat tidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Tak lama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya dengan baik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitan pergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.
            Dalam pengembaraanya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemani seekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belum lagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati ditengah jalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan mereka menawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya. Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin meminta bantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuan Allah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.

1 komentar:

Ajipangestu mengatakan...

Lumayan.. Tpi masih terdapat kekurangan di referensi